Macroeconomic Analyst Bank Danamon Irman Faiz sebelumnya menjelaskan belakangan ini nilai tukar rupiah cukup tertekan karena faktor musiman permintaan korporasi akan dolar AS yang tinggi pada April - Mei. Adapun, periode tersebut merupakan musim pembagian dividen dari perusahaan multinasional.
“Selain itu, kegiatan impor cenderung juga mulai menunjukkan arah positif seiring dengan aktivitas manufaktur domestik yang terus ekspansif juga turut berkontribusi untuk permintaan valas,” kata Faiz.
Di sisi lain, tingkat imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun atau US Treasury yang mulai turun sehingga mendorong aliran modal masuk ke pasar obligasi Tanah Air disebut bisa menjadi penahan laju pelemahan rupiah. Namun, perlu diingat bahwa inflow tersebut akan terjadi bertahap.
Sedangkan dari dalam negeri, peran bank sentral dalam menjaga stabilitas nilai tukar juga akan dicermati oleh pelaku pasar. “Berdasarkan faktor-faktor tersebut, kami melihat potensi pelemahan rupiah untuk beberapa waktu masih akan berlanjut dengan rentang Rp 14.500 - Rp 14.600,” tuturnya.
Goldman Sachs Group Inc. mengatakan kenaikan imbal hasil obligasi AS dan penguatan dolar yang berpotensi berlanjut akan terus merugikan aset Indonesia dalam waktu dekat. Sementara PineBridge Investments Asia Ltd. mengatakan rupiah akan terus merosot karena risk-off perdagangan global dan ketika dana luar negeri membawa pulang dividen.
BISNIS
Baca: Kurs Rupiah Melemah di Level 14.580 per Dolar AS, Ini Tiga Penyebabnya