TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) memastikan sudah ada perbedaan penghitungan royalti lagu dan musik di antara masing-masing jenis usaha. Pernyataan ini disampaikan merespons keberatan dari pengusaha hotel karena mereka dianggap memiliki nilai komersil yang sama dengan usaha lain, seperti karaoke hingga konser musik.
"Sejak dahulu, hotel tidak pernah di-grouping dengan karaoke. Masing-masing usaha itu beda cara menghitungnya sesuai dengan keputusan menteri," kata Komisioner Bidang Hukum dan Ligitasi LMKN Marulam J. Hutauruk saat dihubungi di Jakarta, Minggu, 11 April 2021.
Ketentuan royalti ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Beleid ini diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 30 Maret 2021, sebagai aturan UU Hak Cipta.
Setelah PP ini terbit, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI Maulana Yusran menyuarakan keberatan dari pengusaha perhotelan soal nilai komersil tersebut. "Seharusnya ada grouping, tidak bisa disamaratakan," kata Maulana saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 8 April 2021.
Ketentuan soal nilai komersil ini tertuang dalam pasal 3 pada PP 56. Pasal tersebut merinci 13 daftar layanan publik yang bersifat komersial, mulai dari seminar, restoran, kafe, konser musik, pesawat udara, sampai kamar hotel.
Sementara untuk membayar royalti, pengusaha tidak keberatan sama sekali. Sebab, pembayaran royalti ke LMKN sudah berjalan sejak 2016, dua tahun sejak UU Hak Cipta terbit.