TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Freddy Harris menjelaskan alasan di balik terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Beleid itu diteken Presiden Joko Widodo pada 30 Maret 2021.
"Intinya, PP ini mempertegas Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/Atau Musik tentang bentuk penggunaan layanan publik bersifat komersial dalam bentuk analog dan digital," ujar Freddy dalam konferensi video, Jumat, 9 April 2021.
Freddy mengatakan perkara royalti tersebut sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Namun, beleid anyar ini mengatur secara lebih spesifik.
PP tersebut memuat tentang kewajiban pembayaran royalti bagi setiap orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersial dan ataupun pada layanan publik. Royalti yang ditarik dari pengguna komersial ini akan dibayarkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu dan/atau musik melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Karena itu, beleid ini juga mengatur mengenai LMKN tersebut. "Kalau LMK tidak diatur dengan baik, yang pusing tempat-tempat yang diatur di pasal 3, yaitu restoran, kafe dan lainnya, nanti akan banyak LMK yang datang ke kafe dan lainnya, jadi diatur dan dibuat tata kelola yang baik," ujar Freddy.
Baca Juga:
Mulanya, kata Freddy, DJKI pengaturan mengenai royalti ini baru akan dilakukan pada 2022. Pasalnya, pada tahun ini pihaknya masih akan memprioritaskan persoalan paten. Namun, ia mengatakan banyak musikus yang datang dan mengeluhkan mengenai hak cipta tersebut.