TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menegaskan tidak pernah keberatan terhadap pungutan royalti lagu dan musik. Sebab, pungutan ini memang sudah berjalan setelah ada kesepakatan dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) pada 2016 silam.
"Kami sudah sepakat polanya," kata Maulana saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 8 April 2021.
Pernyataan ini disampaikan Maulana merespon ketentuan baru soal royalti yang diterbitkan pemerintah. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Beleid tersebut diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 30 Maret 2021.
PP ini juga merupakan aturan turunan dari UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Baca Juga: Kemenkumham Cerita Alasan di Balik Terbitnya Beleid Royalti Lagu dan Musik
Sementara, LMKN ini adalah sebuah lembaga bantu pemerintah non-APBN yang memiliki kewenangan menghimpun dan mendistribusikan royalti. "Serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak Terkait di bidang lagu dan/atau musik," demikian tertulis dalam PP 56.
Maulana menambahkan, sejak ada kesepakatan di 2016, praktis pembayaran royalti atas penggunaan lagu dan musik sudah dilakukan ke LMKN. "Jadi PP (pembayaran royalti) ini bukan hal yang baru," kata dia.
Tapi, aturan baru ini justru membuat pengusaha hotel keberatan. Sebab, PP 56 menempatkan hotel dan restoran memiliki nilai komersil yang sama dengan layanan publik seperti karaoke sampai konser musik.
Padahal, kata Maulana, penggunaan musik di hotel hanya opsional saja. Jika ketentuan ini berjalan, konsekuensi yang mungkin bisa muncul adalah pembayaran royalti selama ini oleh pengusaha hotel dan restoran akan naik dibandingkan kesepakatan dengan LMKN tahun 2016.
"Seharusnya ada grouping, tidak bisa disamaratakan," kata Maulana saat dihubungi di Jakarta, Kamis, 8 April 2021.