Tapi dalam PP 56 ini, hotel dan restoran kemudian dianggap memiliki nilai komersil yang sama dengan layanan seperti usaha karaoke yang memang menggunakan musik. Sehingga, kata Maulana, konsekuensi yang bisa muncul adalah pembayaran royalti oleh hotel dan restoran bisa menjadi lebih besar dibandingkan nilai kesepakatan dengan LMKN di tahun 2016.
Maulana mengingatkan, penggunaan musik di hotel dan restoran sifatnya masih menjadi pilihan. Ada yang memutar lagu dan ada yang tidak, tergantung kelas dari restoran dan hotelnya.
Maulana mencontohkan hotel-hotel kecil yang sama sekali tidak menggunakan musik. "Kalau tanpa musik, kan masih tetap bisa buka," kata dia.
Sehingga, Maulana menilai harus ada pembedaan nilai komersil antara hotel dan restoran dengan layanan publik lainnya. Selain itu, harus ada ketentuan yang jelas mengenai mekanisme pungutan royalti ini bagi hotel dan restoran yang menggunakan musik, dan yang tidak.
FAJAR PEBRIANTO
Baca juga: Koalisi Seni Nilai PP Royalti Lagu dan Musik Datang Terlambat