TEMPO.CO, Jakarta - Vice President Chief Administration Officer Asian Infrastructure Investment Bank alias AIIB, Luky Eko Wuryanto, mengatakan sejak awal menjunjung tinggi standar kerangka kerja dari sisi lingkungan maupun sosial sebelum memberi pembiayaan untuk proyek di Mandalika.
Pernyataan ini menanggapi pernyataan dari pakar PBB yang menyoroti adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam proyek tersebut.
"Agak mengherankan kalau kemudian ada tuduhan seperti itu. Karena itu menjadi pertimbangan utama bahkan sebelum pembiayaan itu diturunkan," ujar Luky dalam wawancara virtual bersama awak media, Rabu, 7 April 2021.
Baca Juga: AIIB Jawab Soal Pakar PBB yang Soroti Masalah HAM di Proyek Mandalika
Luky mengatakan berbagai macam syarat harus dipenuhi, baik dari sisi lingkungan maupun sosial sebelum adanya pencairan pembiayaan pembangunan."Jadi ada kontrol seperti itu yang diuji tuntas oleh kami sebagai pemberi pinjaman untuk memastikan apa yang sudah dikerjakan. Karena setiap proyek akan ada AMDAL," ujar dia.
Namun demikian, Luky mengatakan AMDAL di satu sisi baru berupa tulisan yang harus dipraktikan dan dikontrol melalui tahapan pencairan pendanaan. Dengan demikian terjadi check and balance dalam keberjalanan proyek tersebut.
"Jadi kalau you mau lakukan itu apakah langka-langkah yang you bilang waktu itu AMDAL dulu disebutkan sudah dilakukan apa belum. Itu yang dilakukan untuk kami mengontrol komitmen yang sudah ada. Itu yang sebelumnya," tuturnya.
Ia memastikan AIIB sangat menaruh perhatian mengenai isu tersebut. Apalagi, menurut dia, AIIB sebagai lembaga pembiayaan multilateral juga dimiliki oleh banyak pihak, termasuk negara maju seperti Jerman, Inggris, dan Prancis yang sangat memperhatikan hak asasi manusia dan isu sosial.
Untuk mengontrol proyek tersebut agar sesuai koridor tersebut ke depannya, Luky mengatakan akan ada pengawasan di setiap tahapannya."Kalau ada masalah kita tidak harus menunggu proyek ini selesai tapi bisa melakukan perbaikan di tengah jalan sesuai dengan hasil monitoring efektifitas atau bagaimana harus adanya perbaikan terhadap penduduk yang terimplikasi dengan adanya proyek ini," tutur Luky.
Sebelumnya, Pakar PBB untuk Hak Asasi Manusia mendesak Pemerintah Indonesia untuk menghormati Hak Asasi Manusia dan hukum yang berlaku terkait proyek di Mandalika, Nusa Tenggara Barat. Hal ini terkait adanya laporan dugaan pelanggaran HAM dalam proyek tersebut.
Sumber terpercaya, menurut para ahli tersebut, menyatakan bahwa masyarakat setempat menjadi sasaran ancaman dan intimidasi, serta diusir secara paksa dari tanah mereka tanpa mendapatkan ganti rugi. "Terlepas dari temuan ini, ITDC belum menunjukkan itikad baik untuk membayar ganti rugi atau menyelesaikan sengketa tanah,” kata para ahli.
Proyek ini sebagian dibiayai oleh Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan telah mendapatkan investasi lebih dari US$ 1 miliar dari pebisnis swasta. Grup asal Prancis yaitu VINCI Construction Grands Projets merupakan investor terbesar yang akan bertanggung jawab atas pembangunan Sirkuit Mandalika, hotel, rumah sakit, water park, dan fasilitas lainnya.
Para pakar juga mengkritik kurangnya uji tuntas oleh AIIB dan perusahaan swasta untuk mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, dan mempertanggungjawabkan dampak buruk terhadap hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam UN Guiding Principles atau Prinsip Panduan PBB mengenai bisnis dan hak asasi manusia.
“Mengingat sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia dan perampasan tanah di wilayah ini, AIIB dan perusahaan lainnya tidak boleh mengabaikan dan hanya menjalankan bisnis seperti biasa. Kegagalan mereka dalam mencegah dan menangani risiko pelanggaran hak asasi manusia berarti sama saja mereka terlibat dalam pelanggaran tersebut,” kata para pakar.