TEMPO.CO, Jakarta - Pakar PBB untuk Hak Asasi Manusia mendesak Pemerintah Indonesia untuk menghormati Hak Asasi Manusia dan hukum yang berlaku terkait proyek di Mandalika, Nusa Tenggara Barat.
Pasalnya, ada laporan bahwa proyek pariwisata senilai US$ 3 miliar di pulau Lombok itu telah menimbulkan perampasan tanah yang agresif, penggusuran paksa terhadap Masyarakat Adat Sasak, dan intimidasi serta ancaman terhadap pembela hak asasi manusia.
Baca Juga: Utusan Khusus PBB: Myanmar Dalam Ancaman Perang Saudara
“Para petani dan nelayan terusir dari tanah yang mereka tinggali, serta rumah, ladang, sumber air, peninggalan budaya serta situs religi mereka mengalami perusakan karena pemerintah Indonesia dan ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) akan menjadikan Mandalika sebagai 'Bali Baru',” kata Olivier De Schutter, UN Special Rapporteur (Pelapor Khusus) untuk kemiskinan ekstrim dan hak asasi manusia dalam keterangan tertulis, Rabu, 31 Maret 2021.
Sumber terpercaya, menurut para ahli tersebut, menyatakan bahwa masyarakat setempat menjadi sasaran ancaman dan intimidasi, serta diusir secara paksa dari tanah mereka tanpa mendapatkan ganti rugi. "Terlepas dari temuan ini, ITDC belum menunjukkan itikad baik untuk membayar ganti rugi atau menyelesaikan sengketa tanah,” kata para ahli.
Mandalika terletak di kawasan miskin di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan direncanakan diubah menjadi kompleks pariwisata terintegrasi yang terdiri dari sirkuit balap motor Grand Prix, taman, serta hotel dan resor mewah, termasuk Pullman, Paramount Resort, dan Club Med.
Proyek ini sebagian dibiayai oleh Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan telah mendapatkan investasi lebih dari US$ 1 miliar dari pebisnis swasta. Grup asal Prancis yaitu VINCI Construction Grands Projets merupakan investor terbesar yang akan bertanggung jawab atas pembangunan Sirkuit Mandalika, hotel, rumah sakit, water park, dan fasilitas lainnya.
Para pakar juga mengkritik kurangnya uji tuntas oleh AIIB dan perusahaan swasta untuk mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, dan mempertanggungjawabkan dampak buruk terhadap hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam UN Guiding Principles atau Prinsip Panduan PBB mengenai bisnis dan hak asasi manusia.
“Mengingat sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia dan perampasan tanah di wilayah ini, AIIB dan perusahaan lainnya tidak boleh mengabaikan dan hanya menjalankan bisnis seperti biasa. Kegagalan mereka dalam mencegah dan menangani risiko pelanggaran hak asasi manusia berarti sama saja mereka terlibat dalam pelanggaran tersebut,” kata para pakar.
Olivier De Schutter mengatakan Proyek Mandalika ini menguji komitmen baik Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) serta kewajiban hak asasi manusia yang mendasarinya. Pembangunan pariwisata berskala besar yang menginjak-injak hak asasi manusia ini secara prinsip bertentangan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
“Sudah bukan waktunya untuk mendirikan sirkuit balap dan proyek infrastruktur pariwisata transnasional besar-besaran yang hanya menguntungkan segelintir pelaku ekonomi alih-alih bermanfaat bagi populasi masyarakat secara keseluruhan," kata De Schutter.
Perekonomian setelah Covid-19, menurut dia, harus menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat lokal, meningkatkan mata pencaharian mereka dan mengikutsertakan mereka dalam pengambilan keputusan.
Karena itu, para pakar mendesak pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa ITDC menghormati hak asasi manusia dan hukum yang berlaku. Adapun kepada AIIB dan perusahaan swasta, para pakar berpesan agar tidak mendanai ataupun terlibat dalam proyek dan kegiatan yang berkontribusi pada pelanggaran dan kekerasan terhadap hak asasi manusia.
Pada Maret 2021, beberapa pakar PBB menyoroti keprihatinan ini dalam percakapan bersama dengan Pemerintah Indonesia, ITDC dan AIIB, serta perusahaan swasta terkait seperti VINCI Construction Grands Projets, Club Med, Accor, Dorna Sports dan EBD Paragon beserta negara asal mereka (Prancis, Spanyol, dan Amerika Serikat).