Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan GeNose belum benar-benar teruji tingkat prediksinya dan akurasinya. Menurut dia, klaim akurasi alat pendeteksi yang mencapai 90 persen belum meyakinkan lantaran uji coba terhadap sampel dianggap belum terlampau optimal. Hal ini mengacu pada angka masyarakat terinfeksi virus corona di Indonesia.
“Angka orang yang terinfeksi di Indonesia masih rendah, mungkin hanya 5 persen. Bagaimana mendeteksi orang membawa virus dari 5 persen itu,” tutur Pandu.
Pandu khawatir alat pendeteksi GeNose akan memberikan hasil negatif palsu yang berpengaruh terhadap psikologi masyarakat. Dengan klaim akurasi 90 persen itu, kata dia, sebagian masyarakat yang terdeteksi negatif Covid-19 bisa saja melepas masker dan tidak menerapkan protokol kesehatan.
“Jadi kalau Kementerian Kesehatan memberikan izin (GeNose) pakai sementara 1 tahun, seharusnya itu untuk riset, untuk perbaiki prosedur, bukan untuk buka layanan,” tutur Pandu.
Ketua Tim Pengembang GeNose, Kuwat Triyana, menjelaskan GeNose mampu mendeteksi seseorang yang baru dua hari terpapar virus Covid-19, sedangkan tes PCR atau rapid antigen belum mampu mendeteksi pada periode yang sama.
"Kalau orang itu terpapar baru 2 hari, Insya Allah sudah ke-detect, tapi kalau kita menggunakan PCR maupun antigen itu belum ke-detect," katanya seperti dikutip Bisnis, 31 Januari lalu.
Kalau hasil GeNose seseorang positif tapi hasil test PCR negatif, ujar Kuwat, belum tentu mereka benar-benar negatif atau terbebas dari Covid-19. Dengan begitu, bila ingin memastikan apakah seseorang terjangkit atau tidak, mereka disarankan melakukan tes PCR pada hari keempat atau kelima setelah terpapar atau bukan pada hari yang sama dengan tes GeNose.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | BISNIS
Baca juga: Satgas Covid-19 Ubah Aturan Perjalanan: Opsi GeNose, PCR ke Bali Berlaku 2 Hari