Menurut lima asosiasi tersebut, metafora, terutama yang dilakukan secara harafiah dan keseluruhan dalam dunia perancangan arsitektur era teknologi 4.0 adalah pendekatan yang mulai ditinggalkan karena ketidakampuan menjawab tantangan dan kebutuhan arsitektur hari ini dan masa mendatang.
"Metafora hanya mengandalkan citra, yang dilakukan secara keseluruhan dapat diartikan secara negatif dikaitkan dengan anatomi tubuh yang dilekatkan dalam metafor," tulis Asosiasi. Metafora harafiah yang direpresentasikan melalui gedung patung burung tersebut, menurut mereka, tidak mencerminkan upaya pemerintah dalam mengutamakan forest city atau kota yang berwawasan lingkungan.
Oleh karena itu, lima asosiasi profesi itu menyarankan istana versi burung Garuda disesuaikan menjadi monumen atau tugu yang menjadi tengaran atau landmark pada posisi strategis tertentu di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) dan dilepaskan dari fungsi bangunan istana.
Asosiasi pun mengusulkan desain bangunan gedung istana disayembarakan dengan prinsip dan ketentuan desain yang sudah disepakati dalam hal perancangan kawasan maupun tata ruangnya, termasuk target menjadi model bangunan sehat beremisi nol.
Terkait kepentingan awal pembangunan IKN, asosiasi menilai memulai pembangunan tidak harus melalui bangunan gedung, tetapi dapat melalui Tugu Nol yang dapat ditandai dengan membangun kembali lanskap hutan hujan tropis seperti penanaman kembali pohon endemik Kalimantan.
Hal itu juga nantinya bisa menjadi simbol bahwa pembangunan ibu kota baru memang merepresentasikan keberpihakan pada lingkungan. "Yaitu 'membangun hutan terlebih dahulu baru membangun kotanya' sebagaimana disebutkan dalam konsep sayembara Nagara Rimba Nusa," termaktub dari pernyataan lima asosiasi tersebut.
Baca: Kepala Bappenas Yakin Jokowi Bisa Upacara 17 Agustus 2024 di Ibu Kota Baru