TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, meminta pemerintah segera menyusun reformasi kebijakan susulan untuk mencegah risiko yang dihadapi perbankan pasca-pandemi 2022. Salah satu risiko tersebut adalah kredit macet atau kredit bermasalah (NPL) yang bisa melonjak hingga dua digit.
“Kalau tidak ada kebijakan susulan, lalu tiba-tiba NPL kita dobel digit yang justru terjadi saat ekonomi membaik, rating kita bisa turun karena perbankan Indonesia dianggap berisiko,” ujar Aviliani dalam acara diskusi publik yang digelar secara virtual oleh Infobank pada Selasa, 30 Maret 2021.
Otoritas Jasa Keuangan baru saja memperpanjang kebijakan stimulus restrukturisasi atau keringanan cicilan hingga tenggat 31 Maret 2022. Berlaku bagi nasabah bank, ketentuan itu diatur dalam Peraturan OJK Nomor 48 /POJK.03/2020 sebagai perubahan atas POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.
Aviliani khawatir kinerja bank yang dianggap baik selama krisis berlangsung akan anjlok saat aturan kredit kembali normal. Apalagi selama pandemi, ia mengakui bank telah mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Kondisi tersebut tampak dari dana pihak ketiga perbankan yang naik melebihi ekspektasi kala terjadi krisis wabah virus corona. Per 2020, total dana pihak ketiga yang dihimpun bank himbara menanjak 11,92 persen atau menjadi Rp 3.127,03 triliun secara year on year.