TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri menilai meski sudah genap setahun wabah Covid-19 secara resmi melanda Indonesia dan jumlah kasus terkonfirmasi telah menembus satu juta warga sejak 26 Januari 2021, namun tak ada strategi mumpuni dari pemerintah untuk memeranginya.
"Pemerintah memperlakukan pandemi seperti bencana alam, sehingga yang dijadikan komandan adalah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dijabat oleh jenderal bintang 3. Unit yang disebut Gugus Tugas ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden," ujar Faisal Basri di laman pribadinya, faisalbasri.com, Kamis, 25 Maret 2021.
Baru kemudian lewat Perpres 82/2020, kata dia, Gugus Tugas diturunkan derajatnya menjadi Satuan Tugas (Satgas) di bawah Ketua Pelaksana Komite Kebijakan. Pimpinan Komite terdiri dari Ketua Komite yang dijabat oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan enam wakil ketua.
Enam wakil ketua itu adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi; Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Menteri Keuangan; Menteri Kesehatan; dan Menteri Dalam Negeri.
Formasi itu ditambah dengan dua sekretaris eksekutif, yang masing-masing dijabat oleh Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia dan Sekretaris Menko Perekonomian. "Maka semakin nyata bahwa kepentingan ekonomi sangat mendominasi dalam penanganan pandemi," ujar Faisal.
Padahal, tutur dia, banyak pakar ekonomi sekalipun menyatakan bahwa kesehatan harus berada di garda terdepan. Menurut Faisal, berbeda dengan krisis yang diakibatkan peperangan, gempa bumi, banjir yang merusak fasilitas ekonomi, khususnya fasilitas produksi, krisis kesehatan tidak merusak apa pun. Ketika pandemi telah terkendali, otomatis fasilitas produksi akan segera bergerak menuju normal.
Untuk memenangi peperangan melawan pandemi, Faisal mengatakan segala sumber daya yang ada seharusnya didedikasikan untuk perang. Ibaratnya, ujar dia, kapasitas pabrik bisa didayagunakan untuk menghasilkan barang-barang bagi kebutuhan perang. Kapal-kapal niaga bisa dimodifikasi untuk mengangkut prajurit, persenjataan, dan kebutuhan penunjang lainnya.
Untuk mewujudkan itu semua, menurut dia, tidak cukup dengan mengacu kepada aturan yang ada. Harus hadir payung hukum yang kuat dalam menghadapi darurat perang.
Pengadaan barang dan jasa pun, kata dia, tidak bisa menunggu lelang. Alokasi anggaran tidak bisa mengikuti alur pembahasan baku yang memerlukan berbagai tahapan.