TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Dzulfian Syafrian, menilai utang pemerintah Jokowi saat ini akan berimbas langsung kepada keuangan masyarakat di masa mendatang. Pasalnya, ia melihat sebagian besar utang pemerintah adalah utang jangka panjang.
"Diskursus isu milenial harus didorong. Konsekuensi riil utang yang membengkak kepada dompet masyarakat itu nyata karena itu melalui kanal peningkatan pajak," ujar dia dalam webinar, Rabu, 24 Maret 2021.
Dzulfian meyakini hanya perkara waktu saja pemerintah akan menaikkan pajak untuk masyarakat guna menutup utang saat ini. Akibatnya, keuangan pekerja, masyarakat produktif, serta generasi uda pun akan terimbas.
"Saat ini mereka hanya bayar pajak 15-20 persen, tapi ke depan bisa saja naik 25-30 persen. Karena itu yang akan dilakukan pemerintah untuk menutup utang yang dilakukan saat ini oleh generasi ini," ujar dia.
Utang pemerintah saat ini pun, menurut Dzulfian relatif lebih mahal ketimbang pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pasalnya, ia melihat pemerintah saat ini relatif lebih banyak mengambil utang dari dalam negeri.
Padahal, menurut dia, utang domestik biasanya lebih besar ketimbang utang luar negeri. Karena itu, ia menilai kebijakan tersebut bisa saja merugikan keuangan negara ke depannya.
"Utang saat ini sama dengan pajak yang harus dibayarkan generasi mendatang yang lebih besar, sama dengan tabungan dan konsumsi generasi mendatang milenial yang akan berkurang karena ada lemparan tanggung jawab dari generasi saat ini kepada generasi yang mendatang," tutur Dzulfian.
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia mencapai Rp 6.361 triliun per akhir Februari 2021. Angka ini meningkat Rp 128 triliun dari periode Januari 2021 sebesar Rp 6.233 triliun.
Baca: Cerita Sri Mulyani Terima SMS Tawaran Utang di Ponselnya Setiap Hari