TEMPO.CO, Jakarta – Ombudsman RI menemukan adanya potensi maladministrasi dalam rencana impor beras sebanyak 1,5 juta ton. Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, mengatakan potensi itu terlihat dari mekanisme keputusan impor dalam rapat koordinasi terbatas atau rakortas yang dilakukan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian beberapa waktu lalu.
Yeka berujar, keputusan impor beras tidak berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), stok beras di lapangan, dan stabilitas harga beras dalam tiga tahun terakhir. Rencana ini pun cenderung terburu-buru dan terkesan mengesampingkan unsur scientific.
“Kami melihat jangan-jangan ada masalah. Keputusan impor beras harus berbasiskan data yang valid karena beras bukan sekadar komoditas, tapi juga dampaknya ke sosial politik yang cukup luas,” ujar Yeka dalam konferensi pers yang digelar secara virtual pada Rabu, 24 Maret 2021.
Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan, stok beras di gudang Bulog per 14 Maret tercatat sebesar 883.585 ton. Dari jumlah tersebut, 859 ribu di antaranya merupakan cadangan beras pemerintah dan 23,7 ribu ton adalah stok beras komersial.
Menurut klaim Kementerian Perdagangan, terdapat 400 ribu ton beras yang mengalami potensi turun mutu karena merupakan stok pada 2018 dan 2019. Karenanya, Kementerian mencatat stok yang layak konsumsi kurang dari 500 ribu ton atau 20 persen dari kebutuhan rata-rata beras tiap bulan sebesar 2,5 juta ton. Padahal, menurut ketentuan, stok beras di gudang tersebut per tahun harus mencapai 1-1,5 juta ton.
Namun, Yeka menerangkan, stok beras yang ada saat ini bukan hanya di gudang Bulog. “Jangan lupa ada di tempat lain,” kata Yeka.