TEMPO.CO, Jakarta - Perombakan jajaran direksi dan komisaris PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) disebut sebagai strategi awal untuk menyelesaikan permasalahan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Sumber Tempo yang memahami rencana itu mengatakan salah satu persoalan yang dihadapi adalah pembengkakan biaya proyek. Nilai proyek yang mulanya direncanakan sebesar US$ 6,07 miliar diperkirakan membengkak sekitar 23 persen. "Tapi hitungan ini masih bergerak," kata dia kepada Tempo, Senin, 22 Maret 2021.
Selain merestrukturisasi manajemen perusahaan, kata sumber itu, perseroan juga direncanakan melakukan restrukturisasi finansial atau pembiayaan, yang diikuti restrukturisasi kepemilikan di tubuh KCIC.
Meskipun 75 persen pendanaan proyek dibiayai dengan pinjaman China Development Bank, biaya tambahan yang muncul selama pengerjaan harus ditanggung KCIC. "Pembengkakan biaya kereta cepat tak bisa ditalangi pinjaman. Harus murni dari ekuitas KCIC, makanya berat," ujar dia.
Saat ini, pemerintah Indonesia melalui konsorsium badan usaha pelat merah bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia memegang 60 persen saham di perusahaan patungan Indonesia dan Cina itu.
Empat badan usaha milik negara itu adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk sebesar 38 persen, PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero) masing-masing 25 persen, serta PT Jasa Marga (Persero) Tbk 12 persen. Adapun 40 persen saham KCIC dipegang konsorsium asal Cina, Beijing Yawan HSR Co Ltd.
Ihwal rencana restrukturisasi kepemilikan, dia belum bisa memastikan perubahan porsi saham seperti apa yang akan didiskusikan konsorsium Indonesia dengan pihak Cina. "Intinya, berusaha mengurangi beban BUMN kita yang sedang berdarah karena pandemi," ucapnya.