TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) angkat bicara menanggapi dampak lonjakan imbal hasil atau yield obligasi US Treasury hingga tembus 1,7 persen yang memukul indeks harga saham gabungan atau IHSG dan nilai tukar rupiah saat ini.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Haryadi Ramelan menjelaskan, kenaikan imbal hasil obligasi dengan tenor 10 tahun hingga tembus 1,7 persen ke Tanah Air lebih merefleksikan optimisme pasar atas progress yang bagus dari vaksinasi di Amerika Serikat. Seperti diketahui, Amerika Serikat (AS) menargetkan herd immunity 70 persen pada Juni atau Juli tahun ini.
Hal ini ditambah beberapa indikator utama makro di AS yang membaik. Dengan begitu, proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada tahun ini diperkirakan bisa mencapai 6,5 persen dan inflasi di atas 2 persen.
Oleh karena itu, Haryadi optimistis pemulihan ekonomi Amerika Serikat bakal berimbas positif bagi perekonomian negara berkembang. "Justru akan memberi ruang meningkatnya permintaan impor (AS) dari emerging countries," ujar Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Haryadi Ramelan ketika dihubungi, Jumat, 19 Maret 2021.
Ia menjelaskan, nantinya, jika titik keseimbangan sudah tercapai, BI yakin akan ada aliran dana asing atau inflow mengalir kembali ke Indonesia. "At the soonest, mungkin semester II tahun ini sampai dengan 2022," ujar Haryadi.
Haryadi juga menyebutkan The Federal Reserve yang tidak khawatir dengan laju inflasi di AS karena indikator inflasi Federal Reserve adalah FITF (Flexible Inflation Targeting Framework). "Di mana ukuran inflasi tidak satu titik tapi beberapa titik atau periode."
The Fed juga masih meyakini inflasi pada 2022 akan di bawah 2 persen. Oleh karena itu, pergerakan imbal hasil atau yield US Treasury lebih mencerminkan optimisme pertumbuhan ekonomi AS yang semakin baik.
Adapun di dalam negeri, kata Haryadi, BI akan senantiasa ada di pasar mengawal keseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing secara terukur dalam waktu yang tepat.