Limbah batu bara yang tak dikelola dengan benar, kata Merah, akan menimbulkan berbagai mudarat. Untuk masyarakat yang tinggal di daerah sekitar PLTU, penyakit yang berhubungan dengan pernapasan seperti ISPA akan menjadi ancaman utama.
Sedangkan untuk lingkungan, limbah ini bisa merusak ekosistem. Menurut Merah, 82 persen PLTU berada di pesisir sehingga ancaman kerusakan biota laut akan lebih tinggi.
Alih-alih mencabut limbah batu bara dari kategori limbah B3, Merah meminta pemerintah berfokus mengatur pemanfaatannya. Selama ini, metode pemanfaatan limbah batu bara belum optimal karena tidak mempertimbangkan konsentrasi racun ketika tumpukan limbah tersebut basah.
“Di Indonesia metodenya diteliti ketika (limbah) kering. Padahal kalau terjadi hujan, ini akan menyebabkan akumulasi konsentrasi dan ada perubahan kimia. Dia di pesisir, ini bahaya kalau terjadi rembesan pelindian air dari FABA yang ditumpuk seperti gunung,” kata Merah.
Menyitir beberapa penelitian, Merah menyebut FABA mengandung radionuklida atau unsur dari radio aktif. “Jadi kalau alasan pemerintah menghapus FABA dari B3 itu soal pemanfaatan, ini hanya mempertimbangkan masalah ekonomi,” ujar dia.
Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Maritim Nani Hendriati mengatakan penyusunan peraturan pencabutan kategori limbah batu bara FABA telah melalui proses yang panjang. "Penyusunan PP 22 yang dikawal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membutuhkan proses yang cukup panjang dan akhirnya mengeluarkan FABA dari Daftar B3," kata dia.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA
Baca juga: Jokowi Diminta Cabut Aturan yang Hapus Limbah Batu Bara dari Kategori Berbahaya