TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah, menilai keputusan Presiden Joko Widodo alias Jokowi mencabut kategori fly ash dan bottom ash atau FABA dari daftar limbah B3 alias limbah berbahaya tidak memenuhi unsur demokrasi. Perumusan kebijakan ini diduga tidak melibatkan masyarakat di sekitar lokasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan buruh.
“Di luar urusan masalah teknoktratis, ini masalah krisis demokrasi dan HAM. Penyusunan kebijakannya serampangan, tidak ada keterlibatan warga, tidak ada keterlibatan pekerja,” kata Merah saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 13 Maret 2021.
Merah mensinyalir, sejak awal, pengusaha cawe-cawe terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah terkait pengelolaan limbah, tambang, dan industri.
Lobi pengusaha ditengarai terjadi secara sistematis sejak penyusunan revisi Undang-undang Minerba, penyusunan UU Cipta Kerja, pelonggaran kewajiban perusahaan batu bara membayar royalti, hingga penerbitan aturan PP Nomor 22 Tahun 2021.
Alih-alih membuka ruang bagi masyarakat, pemerintah pun dianggap hanya mendengarkan asosiasi pengusaha batu bara. Akibatnya, perusahaan akan kian leluasa melepaskan limbahnya. Beberapa aturan yang ditetapkan saat limbah itu masuk kategori berbahaya pun berpotensi tak lagi dipenuhi.