Merah melanjutkan, setelah limbah batu bara dikeluarkan dari kategori B3, kewajiban dan tanggung jawab darurat perusahaan terhadap pengelolaan limbah akan hilang. Ancaman pidana bagi pengusaha yang tidak mengelola limbahnya secara benar pun jadi kabur.
Adapun dalam jangka panjang, kebijakan ini akan mengancam biotan dan ekosistem laut. Musababnya sampai sekarang, 82 persen PLTU berada di kawasan pesisir.
“Jadi kami minta aturan ini dibatalkan karena mengandung keputusan yang beracun,” kata Merah.
Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Maritim Nani Hendriati sebelumnya mengatakan penyusunan peraturan pencabutan kategori limbah memerlukan proses yang panjang. "Penyusunan PP 22 yang dikawal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membutuhkan proses yang cukup panjang dan akhirnya mengeluarkan FABA dari Daftar B3," kata dia, 3 Maret lalu.
Sementara itu, Direktur Utama PT Bukit Asam (Tbk) atau PTBA Arviyan Afirin menilai kebijakan ini mempermudah pemanfaatan limbah batu bara menjadi barang bernilai guna. “Selama ini (pemanfaatan limbah batu bara) terkendala karena masih dianggap B3 (limbah berbahaya). Jadi ini kabar baik dan gembira sehingga FABA bisa dimanfaatkan untuk hal yang lebih bermanfaat,” kata Arviyan.
Menurut Arviyan, negara-negara maju di Eropa sudah tidak memasalahkan limbah batu bara sebagai limbah berbahaya sehingga teknologi pemanfaatannya berkembang sangat pesat. Ia merinci, limbah batu bara paling sederhana bisa diolah menjadi timbunan jalan, conblock, hingga bahan bangunan pengganti semen.
BACA: Pemerintah Hapus Limbah Batu Bara dari Daftar Bahan Beracun
FRANCISCA CHRISTY ROSANA