TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah, menyayangkan sikap pemerintah menghapus fly ash dan bottom ash atau FABA dari daftar limbah B3. Merah mengatakan keputusan ini akan melonggarkan kewajiban pengusaha batu bara mengurusi limbah yang membahayakan bagi kesehatan dan lingkungan.
“Penghapusan limbah batu bara dari kategori berbahaya memicu pengusaha batu-bara makin ugal-ugalan. Limbah yang dikelola tidak akan seketat dulu dan yang jadi korban adalah warga sekitar PLTU (pembangkit listrik tenaga uap),” ujar Merah saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 13 Maret 2021.
FABA merupakan limbah padat hasil pembakaran batu bara di PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku konstruksi. Kebijakan penghapusan kategori ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai turunan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Merah menduga kebijakan dikeluarkannya FABA dari kategori B3 didorong oleh lobi pengusaha. Cawe-cawe pengusaha disinyalir terjadi secara sistematis sejak penyusunan revisi Undang-undang Minerba, penyusunan UU Cipta Kerja, pelonggaran kewajiban perusahaan batu bara membayar royalti, hingga penerbitan aturan PP Nomor 22 Tahun 2021.
Keputusan tersebut juga membuktikan bahwa Undang-undang Cipta Kerja bermasalah dan tidak memiliki keberpihakan terhadap masyarakat kecil serta lingkungan. “Ini memang adalah produk dari kepentingan oligarki bisnis dan politik batu bara sejak 2019,” kata Merah.