TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj telah menyampaikan penolakan dari organisasinya terhadap lampiran Peraturan Presiden nomor 10 Tahun 2021. Beleid yang diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi ini berisi daftar negatif investasi atau DNI minuman beralkohol (miras) di empat daerah yang meliputi Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, dan Papua.
Tak hanya PBNU, Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta sejumlah organisasi keagamaan, ada juga sebagian masyarakat Papua yang turut menentang izin pembukaan keran baru bagi bisnis miras. Belakangan Presiden Jokowi memutuskan mencabut lampiran beleid tersebut setelah memperhatikan banyak masukan dari sejumlah pihak.
Tempo merangkum kembali 3 ucapan penting yang disampaikan Said saat menolak lampiran aturan tersebut. Berikut di antaranya:
1. Bersifat Qath'i
Said mengatakan ketentuan mengenai haramnya khamar alias minumen keras bersifat qath'i. Artinya, status haram tersebut sudah diterangkan dalam ayat yang jelas di Al-Quran dan tidak mungkin dicari jalan supaya halal.
"Ini sudah jelas terang benderang ada dalam Al-Quran," kata Said dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 2 Maret 2021.
Hukum yang sama juga berlaku untuk hal yang wajib seperti salat hingga puasa. Ini berbeda dengan hukum untuk bunga bank yang masih menimbulkan perbedaan di kalangan ulama, apakah haram, halal, atau syubhat alias tidak jelas.