TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan kasus dugaan suap pegawai Direktorat Jenderal Pajak atau kasus suap pajak menunjukkan bahwa persoalan rasuah di pemerintahan tidak selesai hanya dengan menaikkan remunerasi pegawai.
"Masalah utama tidak bisa diselesaikan dengan jalan remunerasi. Mau dikasih sebesar apapun kalau celah korupnya masih ada, susah juga," ujar Bhima kepada Tempo, Rabu, 3 Maret 2021.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, para pegawai pajak paling sedikit mendapatkan tunjangan kinerja sebesar Rp 5.361.800, yaitu untuk peringkat jabatan 4 atau jabatan pelaksana. Adapun tunjangan kinerja tertinggi adalah untuk pejabat struktural eselon I dengan peringkat jabatan 27, yaitu sebesar Rp 117.375.000.
Dugaan suap pegawai pajak, menurut Bhima, modusnya masih sama. Kuncinya adalah wajib pajak menyuap petugas pajak untuk meringankan pembayaran pajak. "Modusnya sama, tapi pola komunikasinya makin canggih."
Karena itu, pencegahan korupsi, menurut dia, tidak cukup dengan mengandalkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Bhima mengatakan peran whistle blower di internal pegawai pajak menjadi penting.
Di samping itu, meskipun sudah ada pengawas internal, berkaca dari kasus-kasus sebelumnya, Bhima mengatakan oknum terkait rasuah biasanya memiliki posisi tinggi dan memiliki kuasa. "Jadi solusi terbaiknya dorong pegawai DJP untuk berani melaporkan apabila ada indikasi awal rekan kerjanya lakukan kongkalikong dengan wajib pajak."
Bhima meyakini dalam kasus suap seperti di Ditjen Pajak, ada komunikasi mencurigakan antara wajib pajak dan petugas pajak. Ia pun menduga dengan nilai suap miliaran rupiah, pelaku diduga lebih dari satu orang.