4. Panic Buying
Hanya berselang beberapa jam setelah Jokowi mengumumkan kasus pertama tersebut, sempat terjadi panic buying di masyarakat. Saat itu, beberapa etalase produk kebutuhan seperti beras, masker, hingga hand sanitizer, di sejumlah supermarket langsung kosong karena diserbu masyarakat.
Keesokan hari, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pun langsung meminta masyarakat tidak panik karena bisa mendorong timbulnya ketidakstabilan harga. Saat itu, pemerintah pun menjamin kebutuhan tetap tercukupi.
Khusus untuk kebutuhan pokok seperti beras memang tidak ada kelangkaan. Tapi, produk kebersihan seperti masker dan hand sanitizer-lah yang langsung lenyap dan susah dicari di supermarket beberapa bulan setelah pengumuman Jokowi.
Akibatnya, harga masker melonjak tajam. Di Pasar Glodok, Jakarta, pada awal Maret 2020, harga masker jenis Nexcare isi 50 tembus Rp 850 ribu per kotak. Lalu, Sensi seharga Rp 450 ribu, dan Accurate Rp 400 ribu.
5. Tak Ada Lockdown
Di negara lain, mereka memutuskan untuk menutup total kawasan yang terdampak COvid-19. Tapi di Indonesia, tak pernah ada kebijakan itu. Pemerintah memilih kebijakan bernama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang kini berubah nama menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berskala Mikro.
Belakangan. Jokowi beralasan pilihan itu sudah diambil berdasarkan kajian tertentu oleh pemerintah. "Setiap negara memiliki karakter, budaya, kedisiplinan yang berbeda-beda, oleh itu kita tidak memilih jalan itu (lockdown)," kata dia.
Setelah itu, berbagai kebijakan lainnya pun diambil pemerintah. Mulai dari kampanye penggunaan masker secara masif, pendirian rumah sakit darurat, hingga mendatangkan vaksin dari berbagai negara yang memproduksi.
Lalu yang paling utama, Menteri Keuangan Sri Mulyani menggelontorkan anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 688,33 triliun. Kebijakan ini harus dibayar dengan lonjakan defisit anggaran negara, dari 1,84 persen pada 2019. menjadi 6,09 persen pada 2020.