Agus pun menegaskan kasus yang dialami oleh para korban ini bukanlah sengketa tanah, tapi perampas tanah. Menurut dia, sengketa hanya terjadi apabila ada hubungan keluarga atau hubungan dagang.
Tapi dalam kasus perampasan, tanah milik korban tiba-tiba diambil oleh pihak lain. "Sertifikat yang dirampas itu asli, yang palsu itu proses, karena maladministrasi," kata Agus.
Agus pun menyebut pihak yang merampas pasti jauh lebih kuat dan mempunyai jaringan. Entah itu di BPN, kepolisian, kejaksaan, atau kecamatan. "Kami berharapan dengan sebuah jaringan yang luar biasa," kata dia.
Tenaga Ahli Kementerian Agraria Iing Sodikin Arifin mengatakan kasus perampas tanah ini memang terjadi di lapangan. Salah satunya muncul ketika ada orang yang pura-pura menggugat suatu tanah, yang sebenarnya tidak dimilikinya.
Bila memang terjadi kasus seperti ini, kata Iing, BPN sebenarnya bisa saja menganulir kepemilikan atas tanah yang mengandung proses maladmnistrasi. Tapi, kata dia, ketentuan ini yang belum diatur dalam UU Pokok Agraria.