TEMPO.CO, Jakarta - Rencana Bursa Efek Indonesia atau BEI menutup kode broker pada akhir Juni mendatang sontak menuai respons penolakan dari para trader dan investor. Keputusan otoritas bursa itu disebut-sebut bakal menurunkan jumlah investor ritel dan jumlah transaksi harian.
Kekhawatiran itu disampaikan salah satunya oleh pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy. Ia menilai aturan baru tersebut bisa memengaruhi transaksi berjalan harian investor secara jangka pendek.
Terlebih saat ini, menurut Budi, banyak investor atau trader tidak mengutamakan fundamental secara mendalam atau hanya mengacu pada bandarmology. Tak sedikit para trader yang menggunakan startegi aksi jual beli saham berdasarkan informasi dari broker.
"Kalau jangka pendek bisa saja signifikan hingga belasan persen penurunannya baik jumlah investor atau transaksi mereka," ucap Budi ketika dihubungi, Kamis, 25 Februari 2021.
Lebih jauh Budi memaparkan kerugian yang bakal ditanggung investor akibat penerapan kebijakan itu adalah penurunan kualitas informasi atau transparansi. Terutama para bagi trader, pengetahuan bahwa siapa yang membeli suatu saham itu sangat relevan.
"Itu strategi buat mereka. Apakah ini bandarnya atau yang punya saham itu banyak, masih ngumpulin atau sudah menjual saham tertentu. Hal itu bisa jadi acuan trader, itu utamanya," ucapnya.
Apalagi kini mayoritas atau sekitar 80 persen investor ritel adalah trader. Sehingga, apabila informasi tersebut ditutup atau dihapus maka hal tersebut ekuivalen dengan menutup mata dari investor.
Namun begitu, Budi menyebutkan aturan tersebut juga memiliki sisi positif karena bisa mengurangi praktik herding behavior. Selain itu, praktik tersebut sudah lazim terjadi di banyak negara.