Deputi Bidang Meteorologi Guswanto menjelaskan, kondisi cuaca ekstrem di wilayah Jabodetabek tersebut disebabkan sejumlah faktor yaitu pada 18-19 Februari 2021 terpantau adanya seruakan udara dari Asia yang cukup signifikan. Akibatnya, terjadi peningkatan awan hujan di Indonesia bagian barat.
Selain itu, terpantau aktivitas gangguan atmosfer di zona equator (Rossby equatorial) yang mengakibatkan adanya perlambatan dan pertemuan angin dari arah utara membelok tepat melewati Jabodetabek. Hal tersebut yang kemudian memicu peningkatan intensitas pembentukan awan-awan hujan.
Juga adanya tingkat labilitas dan kebasahan udara di sebagian besar wilayah Jawa bagian barat yang cukup tinggi. Akibatnya terjadi peningkatan potensi pertumbuhan awan hujan di wilayah Jabodetabek.
BMKG juga memantau adanya daerah pusat tekanan rendah di Australia bagian utara yang membentuk pola konvergensi di sebagian besar Pulau Jawa dan berkontribusi juga dalam peningkatan potensi pertumbuhan awan hujan di barat Jawa termasuk Jabodetabek.
Namun, menurut BMKG, secara umum curah hujan di DKI Jakarta saat ini sebenarnya masih lebih rendah dibandingkan curah hujan pada Januari 2020 yang juga menyebabkan banjir di wilayah Jabodetabek.
BISNIS
Baca: Banjir Jakarta, Kerugian Disebut Minimal Capai Rp 30 Juta per Truk Terendam