Padahal di perkotaan, selain polusi udara, kendaraan bermotor juga menyebabkan kemacetan lalu lintas, yang bahkan sampai saat ini tak pernah bisa dikendalikan. Alih-alih serius menggeser penggunaan kendaraan bermotor pribadi ke angkutan massal dan moda transportasi ramah lingkungan serta mendukung mobilitas aktif, pemerintah justru terus membangun jalan, melebarkan dan mengadakan jalan tol dalam kota serta jalan layang.
Selain memboroskan bahan bakar, mengotori kota, dan menimbulkan kesemrawutan tata ruang, kemacetan juga dinilai oleh koalisi kelompok masyarakat ini dapat menghalangi peluang bagi masyarakat untuk bisa lebih produktif. Di Jabodetabek saja nilai yang terbuang, menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), hingga Rp 100 triliun per tahun.
Di sisi lain, menurut data Kementerian Perhubungan, setiap jam rata-rata tiga orang tewas karena kecelakaan di jalan. "Pelonggaran pajak penjualan mobil mungkin bisa meningkatkan produksi dan menggairahkan industri otomotif, yang berguna bagi perekonomian di masa pandemi, seperti diklaim Menteri Airlangga," ujar Putut.
Meski begitu, menurut dia, berapa pun nilai uangnya, tak bakal sebanding dengan kerugian yang timbul. "Akibat pembiaran negara terhadap kehidupan masyarakat yang tergantung kendaraan bermotor."
Putut mengatakan dispensasi pajak itu pun bersifat elitis serta diskriminatif, serta tak adil untuk sektor ekonomi yang lain, yang lebih berpeluang menggerakkan ekonomi tanpa menimbulkan dampak negatif.
Seharusnya, kata dia, dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang digunakan sebagai talangan bagi hilangnya penerimaan pajak penjualan mobil--dengan kata lain, subsidi kepada pembeli mobil--dapat disalurkan untuk kegiatan pemulihan yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, B2W Indonesia, Greenpeace, ITDP, dan RCUS berpendapat tindakan pemerintah untuk mengangkat lagi kegiatan ekonomi harus lebih baik ketimbang sekadar membebaskan PPnBM.
Baca: Mengapa Indef Pesimis Insentif PPnBM Bisa Sumbang Pemasukan Negara Rp 1,4 T?