TEMPO.CO, Jakarta - Bitcoin terus bergerak melejit mencapai rekor tertinggi, menuju tonggak sejarah US$ 50.000 atau sekitar Rp 700 juta (asumsi kurs Rp 13.997 per dolar AS). Mata uang kripto itu telah melonjak lebih dari 1.000 persen sejak Maret 2020 dan membuat sejumlah analis yakin Bitcoin bisa menembus level US$ 100.000 atau sekitar Rp 1,4 miliar tahun ini.
Meroketnya Bitcoin tak lepas dari melemahnya nilai tukar dolar AS. Dolar AS terpantau jatuh ke posisi terendah dua minggu pada akhir perdagangan Selasa (Rabu pagi WIB), setelah bergerak fluktuatif dipimpin oleh kerugian terhadap yen dan euro. Hal ini dikarenakan sentimen risiko membaik di sesi sore di tengah kenaikan pasar saham dan saat imbal hasil obligasi AS menguat.
Dolar sebelumnya telah menguat saat Demokrat di Kongres AS mendukung paket bantuan Covid-19 senilai US$ 1,9 triliun dari Presiden Joe Biden. Tetapi beberapa analis mengatakan pengeluaran fiskal besar-besaran dan melanjutkan kebijakan moneter Federal Reserve yang sangat longgar itu pada akhirnya akan menjadi hambatan besar bagi dolar.
Adapun tolok ukur imbal hasil obligasi AS 10-tahun naik mendekati tertinggi Maret 2020 pada Senin, 8 Februari 2021karena investor bertaruh pada pemulihan ekonomi yang lebih cepat daripada banyak negara lainnya. Imbal hasil obligasi AS 10-tahun terakhir di 1,16 persen.
Indeks dolar yang mengukur greenback terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya melemah 0,6 persen pada 90,54, setelah sebelumnya mencapai level terendah dua minggu.
Sementara itu, saham-saham di Wall Street diperdagangkan lebih tinggi di sore hari. Imbal hasil obligasi naik dari posisi terendahnya karena dolar memperpanjang kerugiannya
"Pasar valas telah mengambil beberapa isyaratnya dari pasar ekuitas," kata Simon Harvey, analis senior pasar valas di Monex Eropa di London.