Artinya, barang yang dikirim keluar Kota Batam yang harganya lebih dari Rp 45 ribu (asumsi kurs Rp 15 ribu per dolar AS) harus dikenakan pajak sekitar 17 persen. Namun sebetulnya, barang yang dikenakan pajak itu adalah barang yang termasuk golongan eks impor. Namun pada pelaksanaannya, produk UMKM pun dikenai pajak yang sama.
Menurut Indra, aturan itu memberatkan konsumen sehingga membuatnya maju mundur dan akhirnya batal membeli kain batik dari Batam. “Itu masalahnya, kita sangat tercekik, konsumen berat di pajak, belum lagi ongkos kirim barang,” katanya.
Indra menjelaskan, selama ini bahan baku kain batik didapatkan dari Jawa. "Tentunya sudah dikenakan pajak sebelum dikirim ke Batam. Nah sekarang dikenakan pajak lagi," ucapnya. “Kecuali bahan baku kami berasal dari Singapura, ya tidak masalah dikenakan pajak."
Walhasil, kondisi itu membuat harga batik di Batam kalah saing dengan harga batik daerah lain. “Sehingga batik Batam termasuk lebih mahal daripada batik Jawa. Misalnya di Jawa harganya Rp 100 ribu, batik Batam Rp 150 ribu,” kata Indra.
Pengusaha lain yang mengeluhkan kebijakan itu adalah Dwi Eko Pramono. Ketua Al Ahmadi Entrepreneurship Center (AEC) Kota Batam ini mengaku harus mengeluarkan pajak yang tak sedikit, hanya untuk mengirim keripik pisang yang harganya Rp 60 ribu keluar dari Batam.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Kota Batam Rafki Rasyid menyatakan sebetulnya aturan itu bagus karena bertujuan untuk menahan laju impor barang. Jadi barang eks impor yang dijual ke luar Batam akan dikenai pajak penjualan.
Tapi dalam pelaksanaannya, kata Rafki, semua barang yang dijual ke luar Batam dikenakan pajak, termasuk produk UMKM. Sejumlah pertemuan dengan Bea Cukai Kota Batam sejak awal tahun lalu pun tak membawa hasil positif.