Ia mengungkapkan dari 40 pengaduan tersebut tercatat 103 korban awak kapal perikanan yang terjebak dalam praktik kerja yang tidak adil dan merugikan. Melihat kondisi tersebut, lanjutnya, pemerintah perlu secepatnya mengambil langkah dan kebijakan strategis untuk mencegah jatuhnya korban awak kapal perikanan.
Abdi mengatakan dari 40 pengaduan kasus tersebut 6,32 persen merupakan kasus luar negeri dan 36,8 persen adalah kasus awak kapal perikanan dalam negeri. Hal itu, ujar dia, mengindikasikan bahwa awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di kapal luar negeri sangat rentan mengalami masalah.
Ia memaparkan masalah yang sering diadukan oleh para pekerja perikanan tersebut adalah terkait dengan gaji dan upah yang tidak dibayar atau dipotong, asuransi, serta kesehatan dan keselamatan kerja. Abdi juga menilai pemerintah kurang responsif menyikapi kesemrawutan tata kelola awak kapal perikanan sehingga tidak bisa memberikan perlindungan maksimal kepada pekerja awak kapal perikanan.
"Sejumlah kebijakan perlindungan dalam status pending seperti Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pelaut migran dan pelaut perikanan serta rencana aksi nasional perlindungan awak kapal perikanan," kata Abdi.
Kedua hal tersebut menjadi penting sebab akan menjawab sejumlah masalah awak kapal perikanan dengan pendekatan program yang holistik dan terintegrasi oleh kementerian dan lembaga.
Perihal penerbitan peraturan pemerintah tentang pekerja migran bidang perikanan, Kepala Seksi Perlindungan dan Pemberdayaan BP2MI Semarang Rodli menyebutkan pembahasan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran telah berada di Kementerian Kesekretariatan Negara. Menurut dia, pembahasan masih membutuhkan waktu karena harus menyesuaikan dengan berbagai aturan nasional maupun aturan kemaritiman internasional.
"Sehingga aturan ketika diterbitkan nanti tidak bertentangan dengan salah satu pasal yang terdapat dalam aturan internasional," kata Rodli kepada Tempo, 15 Januari 2020.
Meski peraturan pemerintah belum diterbitkan, Rodli menyebutkan ada angin segar dari hakim Pengadilan Negeri Slawi yang menjatuhkan vonis bersalah bagi Direktur PT Mandiri Tunggal Bahari, Muhammad Hoji dan Pemilik perusahaan, Sutrisno. Keduanya dinyatakan bertanggung jawab atas pelarungan jenazah seorang ABK WNI di kapal ikan berbendera Cina, Lu Qing Yuan Yu 623.
Putusan yang dibacakan 28 September 2020 itu memberikan hukuman penjara 15 bulan dan denda sebesar Rp 2 miliar. "Putusan itu memudahkan kami bisa memberikan edukasi ke manning agent lain, agar tidak melakukan perekrutan jika tidak punya izin (pengiriman pekerja migran) karena bakal dilakukan proses pidana dan dimasukkan ke penjara," kata Rodli.
Baca: Terima Aduan ABK dari Italia, BP2MI Ingin Kasus Dibawa Ke Ranah Hukum