Di samping itu, meski vaksin sudah ditemukan, banyak negara termasuk Indonesia akan menghadapi pelbagai persoalan dari sisi suplai dan distribusi. Negara-negara maju, misalnya, cenderung menahan distribusi vaksinnya ke negara lain untuk memenuhi kebutuhan negaranya lebih dulu.
Selanjutnya dari sisi permodalan, Mari mengungkapkan tren iklim investasi terus menunjukkan pelemahan sejak krisis finansial global terjadi. “Sebelum pandemi sudah kelihatan shortfall di investment. Sejak global financial crisis, investasi never recover,” katanya.
Menurut data Bank Dunia, pertumbuhan investasi per kapita di pasar dan ekonomi negara berkembang (EMDE) serta negara maju dalam lima tahun tidak pernah melebihi 4 persen. Kontribusinya terhadap PDB per kapita pun tidak pernah mencapai 4 persen.
Karena itu, untuk mempercepat pemulihan ekonomi, Mari berujar negara perlu melakukan beberapa langkah. “Kita harus tetap menangani pandemi dan mengantisipasi the next pandemi dan the next shock, dan gimana kita menangani vaksin dari masalah global dengan kompleksitasnya,” ujar Mari.
Selanjutnya, negara tetap harus melindungi kelompok miskin dan tidak berdaya melalui stimulus bantuan langsung tunai atau BLT serta melakukan rescue atau antisipasi terhadap perusahaan maupun perbankan. “Perlu asistensi kepada perusahaan atau perbankan tapi bulan me-rescue yang zombie,” katanya.
Kemudian, ia memandang perlunya dorongan agregat permintaan agar konsumsi tetap terjaga dan memperbaiki struktur finansial supaya investasi masuk. Mari mengatakan kebijakan anyar yang tertuang dalam Omnibus Law harus bisa menarik investor masuk ke Indonesia.
“Selanjutnya bagaimana kita lakukan kerja sama global terkait perdagangan, finance, dan lain-lain serta mengatasi dampak perubahan iklim,” tuturnya.
BACA: Pandemi, Wamenkeu: Negara-negara Berlomba Amankan Diri dengan Menarik Utang
FRANCISCA CHRISTY ROSANA