Dalam kasus Sriwijaya Air, manajemen maskapai menjanjikan santunan yang lebih besar, yaitu Rp 1,5 miliar. Tapi karena adanya kebutuhan terdesak, kata Ahmad, maka tak jarang keluarga korban menyetujui besaran santunan yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan nomor 77 tahun 2011 tersebut.
Hanya saja, R&D ini justru memberikan pelepasan dan pembebasan maskapai dan pabrikan pesawat untuk terlepas dari sanksi perdata maupun pidana. Termasuk, sekitar 1.000 supplier dan subkontraktor dari pabrikan pesawat di Amerika Serikat.
Ahmad membenarkan bahwa keluarga korban yang terlanjur menandatangani R&D ini masih bisa menuntut Sriwijaya Air, maupun Boeing. Akan tetapi, mereka hanya akan mendapatkan santunan yang besarnya hanya sekitar 30 persen, dibanding mereka yang menolak R&D.
Sebaliknya, keluarga korban yang tidak menandatangani R&D dapat dengan mudah mengajukan tuntutan kepada pabrikan pesawat.
"Dalam pengajuan klaim di Amerika Serikat berdasarkan perundang-undangan hukum yang berlaku disana, keluarga bisa mendapatkan santunan dalam jumlah yang sangat layak," kata guru besar Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara ini.
Dalam mendampingi keluarga korban, Priaardanto juga bekerja sama dengan pengacara penerbangan internasional, Charles Herrmann dari Herrmann Law Group di Amerika Serikat. Charles mengatakan bahwa santunan Rp 1,25 miliar plus Rp 50 juta untuk korban ini sifatnya wajib.