TEMPO.CO, Jakarta - Dekan dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara yang juga pakar penerbangan Ahmad Sudiro mengatakan ganti kerugian atau kompensasi terkait jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan penerbangan atau pengangkut terhadap ahli waris korban.
“Namun ganti kerugian atau kompensasi dari pengangkut ini tidak mengurangi dan tidak melepaskan pihak-pihak lain yang diduga turut bertanggung jawab juga untuk tetap dituntut ganti kerugian atas terjadinya kecelakaan pesawat Sriwijaya SJ-182 jenis Boeing 737-500 tersebut,” ujarnya, Sabtu, 23 Januari 2021.
Menurut dia, aturan ganti rugi atau kompensasi diatur dalam Pasal 141 Undang-Undang No. 1/2009 Tentang Penerbangan, Pasal 2 jo Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, serta ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Adapun aturan tersebut secara jelas berbunyi besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Indonesia atau melalui abritrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, kata Ahmad, pada prakteknya keluarga tanpa pendampingan ahli hukum atau pengacara, secara sepihak diarahkan pihak maskapai untuk memberikan pelepasan dan pembebasan dari sanksi perdata maupun pidana kepada maskapai dan pabrikan pesawat untuk menerima santunan sebesar Rp 1,25 miliar ditambah dengan Rp50 juta sebagai tambahan santunan dari maskapai dan pabrikan pesawat terbang.
Musibah kembali melanda industri penerbangan nasional. Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 jatuh di dekat Pulau Laki, Kepulauan Seribu, pada 9 Januari 2021. Pesawat rute Jakarta-Pontianak itu dinyatakan hilang kontak sejak pukul 14.40 WIB.
BISNIS
Baca juga: 4 Keluarga Korban Sriwijaya Air SJ-182 Disebut Buka Peluang Tuntut Boeing