Utang Sriwijaya kala itu tiga kali lipat dari asetnya. Keuntungan Sriwijaya Air pun menurun Rp 1,2 triliun.
Kemudian, Sriwijaya Air menjalin kerja sama operasi dengan Garuda pada November 2018. Namun tak sampai setahun, kedua perusahaan ini pecah kongsi. Pada 2020, maskapai diterpa paceklik karena pandemi Covid-19. Maskapai memarkirkan sejumlah pesawatnya, termasuk SJ-182, lebih dari delapan bulan.
Mantan investigator senior Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Frans Wenas, mempertanyakan faktor keamanan maskapai di tengah sulitnya keuangan perusahaan. Ia mensinyalir problem perawatan tercermin saat pesawat tidak memancarkan sinyal emergency locator transmitter atau ELT sewaktu kecelakaan terjadi.
Karena itu, dia menduga cuaca buruk bukan faktor tunggal yang menyebabkan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 jatuh. "Sriwijaya kesulitan keuangan, otomatis safety (keamanan jadi berkurang). Meski pesawat laik, perlu dipertanyakan mengapa ELT tidak berfungsi," ujar Frans.
Menurut Frans, insiden kecelakaan pesawat Sriwijaya Air mirip dengan Adam Air 574 yang jatuh di Selat Makassar, 1 Januari 2007 lalu. Kecelakaan pesawat Adam Air disebabkan oleh faktor cuaca dan rusaknya sistem navigasi inersia atau IRS.
"Jadi faktor cuaca adalah contributing, bukan faktor utama. Musim hujan memang rawan kecelakaan," tutur Frans yang menjadi investigator dalam kecelakaan Adam Air belasan tahun silam.
Baca: Imbas Tragedi Sriwijaya Air SJ182, Kemenhub Periksa Seluruh Pesawat Boeing 737