Menurut Suharno, BMTPS atau safeguard memang sering menjadi instrumen yang diterapkan dalam keadaan darurat untuk menekan dampak impor dan menyelamatkan industri dalam negeri. Namun, Suharno berujar instrumen tersebut hanya bersifat sementara. Menurut dia, untuk menghentikan importasi ilegal jangka panjang dan permanen, perlu ada perbaikan industri secara fundamental dan struktur industri tekstil itu sendiri.
"Misalnya, mengurangi ketergantungan bahan baku yang terlalu tinggi, menciptakan biaya produksi yang kompetitif, dukungan bungan pinjaman yang lunak, dan lainnya," kata Suharno.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan disparitas harga bukanlah satu-satunya penyebab importasi tekstil dan produk tekstil masih marak terjadi. Menurut dia, biaya produksi produk Indonesia tak kalah kompetitif dibandingkan negara lain, selisihnya hanya sekitar 10 persen. Menurut dia, disparitas tekstil di pasar lokal terjadi karena praktik curang atau unfair.
"Kalau barang Cina masuk ke Indonesia akan dapat rabat 10 persen. Karena dapat rabat, mereka turunkan harga, itu sama saja praktik dumping. Dari situ sudah ada disparitas harga" tutur Redma. Atas praktik kecurangan lewat fasiltas dari negaranya Redma menambahkan disparitas harga mencapai 20-25 persen.
Tak sampai di situ, begitu produk masuk ke Indonesia, pengimpor melakukan praktik under invoice dan under volume sehingga bayar pajak dan bea masuk menjadi rendah. Dengan modus seperti itu, secara otomatis kewajiban membayar pajak jadi lebih rendah sehingga memicu disapritas harga. "Kalau dikatakan produk kita tidak berdaya saing itu tidak tepat karena produsen dalam negeri masih bisa lakukan ekspor," kata Redma.