TEMPO.CO, Jakarta - Importasi ilegal masih membayangi industri tekstil dan produk tekstil tanah air. Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi) Suharno Rusdi berujar importasi ilegal tekstil yang cukup marak dua tahun terakhir.
Pada Agustus tahun lalu, Kejaksaan Agung RI mengungkap temuan 566 kontainer berisi bahan tekstil dengan modus pengurangan volume (under volume) dan jenis barang untuk mengurangi kewajiban bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) atau safeguard.
Pada kasus kedua, adanya penyelundupan 27 kontainer bahan tekstil dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya yang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim. Menurut Suharno, kedua temuan tersebut negara telah dirugikan sebesar Rp 1,6-1,7 triliun. Meski begitu, Suharno meyakini bahwa angka kerugian sebenarnya bisa jauh lebih besar apabila aparat mengusut penyalahgunaan fungsi Pusat Logistik Berikat (PLB) yang terjadi pada 2019.
"Kerugian negara saya kira akan jauh lebih besar dari angka itu. Kita tau, sebelum dua kasus itu terbongkar, importasi ilegal tekstil telah terjadi di beberapa PLB," ujar Suharno, kepada Tempo, Rabu 13 Januari 2021.
Suharno menduga telah terjadi manipulasi dokumen impor di sejumlah PLB. Temuan dua kasus importasi tekstil ilegal lewat Pelabuhan Batam dan Surabaya tersebut merupakan pelarian modus para penyelundup dari PLB yang merasa terganggu, kemudian mengalihkan kegiatannya ke Batam dan Surabaya. Menurut dia, penyebab utama maraknya impor ilegal adalah disparitas harga yang tinggi antara produk dalam negeri dan impor.
“Disparitas harga yang tinggi bisa disebabkan oleh berbagai hal, misalnya supply demand yang tidak seimbang, tata kelola industri yang tidak efisien, bunga pinjaman yang tidak kompetitif, supply chain yang tidak bagus serta infrastruktur yang tidak mendukung,” kata dia.