Saat itu uangnya tidak cukup jika harus digunakan membayar pembuatan website atau laman bisnis sendiri. Alih-alih membuat website, dananya hanya cukup untuk memesan beberapa sampel produk alat makan.
Selain mengunggah sampel produk di instagram, ia menebar jala bisnisnya dengan menawarkan langsung kepada beberapa kolega. Katalognya dia buat sendiri dengan sederhana. Meski tidak banyak, Kika mulai mendapatkan pesanan.
Kendati sudah menerima beberapa pesanan, bisnis yang dirintis tidak bisa melaju kencang. Pasalnya, kecepatan produksi masih bergantung studio pembuatan keramik milik pihak ketiga.
Dengan modal yang belum memadai, ia memberanikan diri mengambil risiko mencoba membuat studio sendiri di kediamannya di Gang Bausasran, Danurejan, Kota Yogyakarta. Dia merasa beruntung. Banyak teman-temannya yang menawarkan bantuan di antaranya membuatkan tungku pembakaran keramik meski dibayar dengan cara dicicil.
Setelah memiliki studio pembuatan keramik sendiri, bisnisnya tak juga lantas melaju pesat. Sebaliknya, ia dirundung kegalauan. Banyak keramik yang menurutnya tidak sempurna karena gagal dalam proses pembakaran. Sementara modal yang dikeluarkannya sudah cukup banyak.
Sosial media sebagai gerbang besar
Di tengah kegalauannya itu, Kika mendapatkan kejutan yang tidak pernah disangka. Instagram yang belum diposisikan sebagai sarana promosi utama, justru mampu mendatangkan pembeli dari Qatar yang hanya mengamati foto-foto sampel yang diunggah.