TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Faisal Basri meminta semua pihak untuk tidak lagi menggunakan istilah gas dan rem dalam penanganan pandemi Covid-19. "Mohon dengan sangat jangan lagi pakai istilah gas dan rem. Nyawa manusia jangan dijadikan trial and error alias coba-coba," ujarnya lewat postingan di Twitter melalui akun @faisalbasri, Rabu, 6 Januari 2020.
Istilah gas dan rem kerap digunakan pemerintah, salah satunya Presiden Joko Widodo atau Jokowi, saat meminta kepada kepala daerah agar penanganan kesehatan dan ekonomi di Tanah Air harus dalam komposisi yang seimbang.
Dalam cuitannya yang lain, Faisal Basri mengatakan apabila kebijakan diambil berbasis ilmu pengetahuan dan data yang akurat, seharusnya langkah-langkah pemerintah bisa lebih terukur. "Gas dan rem itu cerminan ugal-ugalan dan miskin perencanaan."
Menurut Faisal, penyebaran Covid-19 bisa diprediksi dengan tingkat akurasi tinggi apabila data yang ada kredibel. Dengan demikian, gas dan rem pun tidak diperlukan. "Apalagi dilakukan mendadak. Akibatnya, ongkos ekonominya pun sedikit tinggi," ujar dia.
Baru-baru ini, istilah gas dan rem dibunyikan kembali oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kala mengomentari rencana pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Jawa-Bali.
Sri Mulyani mengatakan kebijakan itu harus dilakukan, meskipun berpotensi berdampak kepada turunnya perekonomian nasional. "Pasti ada dampaknya terhadap perekonomian. Namun kalau itu tidak dilakukan dan malah getting worse perekonomian juga akan buruk, jadi pilihannya tidak banyak," ujar Sri Mulyani dalam konferensi video, Rabu, 6 Januari 2020.
Dampak PSBB terhadap perekonomian sudah pernah dirasakan pada tahun 2020. Pada Maret hingga Mei 2020, misalnya, Sri Mulyani mengatakan penerapan pembatasan ketat membuat ekonomi nasional turun. Begitu pula dengan pembatasan di DKI Jakarta pada September 2020 yang menyebabkan konsumsi melambat.