Tapi, DJP berpendapat porsi harga Rp/M3 tersebut sebagai penggantian jasa distribusi yang dikenai PPN. Sedangkan Perseroan berpendapat harga dalam US$/MMBTU dan Rp/M3 merupakan satu kesatuan harga gas yang tidak dikenai PPN.
Maka atas sengketa tersebut, DJP menerbitkan 24 Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total nilai sebesar Rp. 4,15 Triliun untuk 24 masa pajak. Tapi selain itu, juga masih terdapat sengketa untuk jenis pajak lainnya periode tahun 2012-2013 melalui penerbitan 25 SKPKB dengan total nilai sebesar Rp 2,22 Miliar.
Sehingga, perseroan mengajukan upaya hukum keberatan, namun DJP menolak permohonan tersebut. Selanjutnya, pada tahun 2018, perseroan mengajukan upaya hukum banding melalui Pengadilan Pajak.
Pada tahun 2019, Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding perseroan dan membatalkan ketetapan DJP atas 49 SKPKB. Tapi pada 2019, DJP mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.
Hasilnya, MA mengabulkan permohonan yang diajukan DJP, namun dengan nilai sengketa Rp 3,06 triliun. "Namun perseroan belum menerima salinan Putusan MA sesuai prosedur yang ditetapkan dalam UU Mahkamah Agung," kata Rachmat.
Baca: Soal Sengketa Pajak PGN Rp 3,06 Triliun, Ini Penjelasan Stafsus Erick Thohir