AFPI meminta regulator untuk mengedepankan pendekatan prinsipal dalam menyusun regulasi tersebut, sehingga kebijakan yang dihasilkan tetap menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi industri fintech lending. “Ini dengan pertimbangan bahwa penyelenggara tidak menghimpun atau mengelola dana masyarakat, serta bisnis model penyelenggara yang bersifat startup, sehingga perlu dapat bergerak cepat dan efisien,” kata Taufan.
Anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society, Mirza Adityaswara berujar revisi regulasi yang dilakukan juga perlu mengedepankan aspek-aspek perlindungan konsumen, dan mengantisipasi praktek fraud di industri fintech lending.
“Peraturan yang baru harus dapat lebih menjamin pemenuhan prinsip-prinsip perlindungan konsumen, dan pada saat yang sama juga mendorong inovasi dan pertumbuhan akses layanan keuangan digital,” ucap Mirza.
Dalam menghimpun aspirasi, regulator harus terbuka dan mengutamakan koordinasi dengan seluruh pihak terkait, termasuk di dalamnya Kementerian Komunikasi, Teknologi, dan Informatika.
“Untuk hal-hal teknis, perlindungan siber juga harus masuk ke dalam agenda pembahasan,” katanya. Fungsi pengawasan harus dipastikan berjalan optimal, mengingat fintech senantiasa berkembang kompleksitasnya.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Edy Halim mengamini perihal pentingnya upaya perlindungan konsumen dalam operasional fintech lending. Berdasarkan investigasi yang dilakukan BPKN selama ini masih ditemukan banyak pelanggaran terhadap hak-hak konsumen fintech lending.
Di antaranya adalah sistem keamanan yang belum memberikan hak atas kenyamanan kepada nasabah. Sehingga, di era digital saat ini sangat memungkinkan terjadi penyalahgunaan informasi secara mudah atau kebocoran data. “Ini harus dievaluasi agar tidak terulang kembali.”
Baca: OJK Perpanjang Restrukturisasi Pembiayaan non Bank hingga 17 April 2022
VINDRY FLORENTIN