TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah bersama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) memilih skema restrukturisasi polis sebagai penyelesaian masalah gagal bayar klaim, menggugurkan skema likuidasi yang sempat menjadi pertimbangan. Manajemen pun menjelaskan alasan mengapa skema restrukturisasi polis dipilih.
Anggota Tim Perumus Solusi Jangka Pendek Program Restrukturisasi Polis Jiwasraya Farid Azhar Nasution menilai bahwa skema restrukturisasi saat ini merupakan opsi dengan kerugian paling minim bagi nasabah. Meskipun skema itu tidak menyenangkan semua pihak.
"Kalau diasumsikan likuidasi hari ini, misalnya tadi aset Rp15,4 triliun dan utang Rp54,5 triliun, nilai bukunya mungkin hanya 22–23 persen, tapi kalau likuidasi pasti lebih rendah nilainya. Dan saya yakin kalau likudasi saat ini nasabah tidak akan dapat lebih dari 20 persen, itu pun waktunya tidak sebentar," ujar Farid dalam media briefing restrukturisasi polis Jiwasraya, Rabu 23 Desember 2020.
Melalui restrukturisasi, pembayaran klaim dilakukan secara penuh bagi nasabah saving plan yang bersedia dicicil pembayarannya selama 15 tahun. Terdapat pula pemotongan manfaat (haircut) bagi opsi dan segmen nasabah lainnya.
Menurut Farid, opsi likuidasi tidak dipilih karena kapasitas aset Jiwasraya sangat jauh dari jumlah liabilitasnya. Per November 2020, Jiwasraya hanya memiliki aset Rp15,8 triliun yang jumlahnya terus menurun dari 2018 senilai Rp23 triliun dan 2019 menjadi Rp18 triliun.
Harta Jiwasraya yang ada saat ini pun berisikan sekitar Rp3 triliun aset unclear dan unclean atau berkualitas buruk, sehingga nilai aset efektifnyanya dapat dikatakan hanya Rp12,8 triliun. Di sisi lain, liabilitasnya telah mencapai Rp54,4 triliun sehingga ekuitas menjadi negatif Rp38,6 triliun.