Namun Trenggono kemudian beralih fokus ke bisnis penyewaan menara base transceiver dengan mendirikan PT Indonesian Tower. Usaha Trenggono mulai tampak bersinar sewaktu mereka melakukan penawaran saham perdana (IPO) ke publik delapan tahun kemudian.
Nilai perusahaannya melejit menjadi US$ 1,5 miliar atau kurang-lebih Rp 18 triliun. Lalu, pada 2012, menurut dia, seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 17 November 2014, valuasi usahanya berlipat jadi US$ 3 miliar, setelah ia mengambil alih 2.500 tower dari PT Indosat.
Dikutip dari Majalah Tempo edisi 17 November 2014, lompatan prestasi di ladang bisnis itu terjadi seiring dengan meluasnya penjelajahan Trenggono di kancah politik. Pada Januari 2010, ia bergabung dengan Partai Amanat Nasional sebagai bendahara, pada saat Hatta Rajasa menakhodai partai biru berlambang matahari itu. Namanya pun mulai dikaitkan dengan Hatta, yang waktu itu juga menjabat Menteri Koordinator Perekonomian.
Trenggono makin sering disebut dalam proyek berbasis tower yang ada di PT Telkom Tbk. Salah satu yang santer terdengar adalah rencana penjualan anak usaha Telkom, PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel), kepada PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. Bukan kebetulan, karena Tower Bersama kemudian menjadi induk dari perusahaan milik Trenggono, setelah keduanya melakukan merger pada 2010.
Trenggono mulai tak aktif di PAN pada 2013. Namun, dia kemudian bergabung menjadi tim sukses pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla di pemilihan presiden 2014. Kabar ini sempat mengejutkan dan menjadi bahan gunjingan. Sebab, bukan hanya sebagai penggembira, peran Trenggono terhitung strategis di kubu yang jadi lawan PAN, partai tempat ia pernah menjabat sebagai bendahara.
Dia banyak mengurus masalah logistik dan pendanaan dalam tim sukses. Bahkan, setelah Jokowi-Kalla terpilih, kiprah Trenggono masih berlanjut melalui posisinya di Tim Transisi. Di sana, ia kembali mendapat peran penting dengan memimpin satuan tugas khusus bersama putra Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, yakni Prananda Prabowo.