Elis juga berujar perlu ada penyesuaian tarif bea masuk atas masker bedah ini agar produk dalam negeri dapat tetap bersaing di dalam negeri dengan kualitas yang terjaga.
"Lewat hambatan tarif, bisa dengan menaikkan bea masuk, baik berupa pajak ad valorem atau tarif spesifik. Kalau hambatan non tarif bisa berupa spesifikasi teknis. Ini masih diusulkan," tutur Elis.
Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi berujar murahnya produk APD impor terjadi karena harga bahan baku negara eksportir lebih murah dibandingkan yang diproduksi dalam negeri. Turunnya harga minyak dan gas dunia berdampak pada turunnya harga bahan baku APD yang sebagaian besar dibuat dari serat-serat sintetik.
Sebagai gambaran, kata dia, harga serat melt-blown PP grade 1500 di Cina sekarang turun sekitar 75 persen dari ¥ 80.000 per ton menjadi ¥20.000 per ton jika dibandingkan awal tahun 2020.
Demikian juga harga serat jenis high-melt-blow index PP juga turun dari ¥ 30.000/ton turun menjadi ¥ 8.400/ton sejak dua bulan lalu. Sementara produsen APD dalam mengimpor bahan baku di saat harga masih tinggi, sehingga produk jadinya juga terpaksa harus dijual dengan harga tinggi.
Pemerintah sudah menerbitkan PMK 134/2020 yang membebaskan bea masuk bahan baku APD, namun hal itu tidak cukup. "Iinsentif tersebut tidak akan cukup karena besarnya nilai bea masuk bahan baku APD lebih kecil jika dibandingkan dengan tren penurunan harga bahan baku APD dunia. Pemerintah harus menaikkan pajak impor produk APD sebelum produsen APD kita mati," tutur Suharno.
Baca: Cuan Kotos, Ekspor APD, Masker hingga Antiseptik Naik 252 Persen
LARISSA HUDA