Dihubungi secara terpisah, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita juga menolak berkomentar mengenai perihal merger tersebut. "Kami tidak dapat menanggapi rumor yang beredar di pasar," kata Nila.
Di sisi lain, pakar ekonomi digital Ibrahim Kholilul Rohman melihat berbagai dampak bila Grab dan Gojek sepakat untuk melakukan merger. Salah satunya yaitu aksi korporasi ini berpotensi melahirkan monopoli teknologi.
"Dari sisi digital policy, ini the worst scenario," kata Ibrahim yang juga Kepala Riset Ekonomi PT Samudera Indonesia Tbk ini saat dihubungi di Jakarta, Minggu, 6 Desember 2020.
Adapun hitungan HHI ini sudah tercantum jelas dalam Pedoman Penilaian terhadap Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan yang diterbitkan KPPU. Di dalamnya, KPPU mengatur lengkap perihal konsentrasi pasar sebelum dan sesudah merger.
Tapi masalahnya, kata Guntur, rezim yang ada saat ini baru sekedar post-notification. Artinya, KPPU baru bisa melakukan penilaian, setelah nanti Grab dan Gojek melakukan merger, jika memang terlaksana.
Padahal, KPPU sudah lama mengusulkan agar rezimnya diubah menjadi pre-notification. Tujuannya agar ada pencegahan praktik monopoli di awal dan memberi rasa nyaman kepada pelaku usaha.
Usulan itu sebenarnya sudah masuk ke dalam Revisi UU Persiangan Usaha, tapi pembahasannya mandek di DPR. "Kemarin kami juga berharap masuk di Omnibus Law, tapi gagal," kata Guntur.
Anggota KPPU lainnya Chandra Setiawan, mengatakan perusahaan memang bisa melakukan konsultasi di awal dengan KPPU sebelum merger. Tapi, ini sifatnya sukarela, tidak wajib.
Sehingga, Chandra memastikan sejauh ini belum ada konsultasi apapun, baik dari Grab maupun Gojek, terkait kabar merger ini. "Belum pernah," kata dia.
Baca: Kabar Merger dengan Gojek, Grab Dinilai Memiliki Posisi Tawar Lebih Tinggi
FAJAR PEBRIANTO