Tak hanya di Grab maupun Gojek, bisnis data ini pun memang menjadi karakteristik dari bisnis digital lainnya. Tapi, situasi akan semakin buruk, ketika terjadi merger dan para konsumen menjadi semakin ketergantungan dengan perusahaan atau aplikasi tersebut.
Memang, Grab dan Gojek, membantu pengembangan UMKM. Tapi, kata Ibrahim, tidak ada bisnis yang gratis. Data-data pelanggan yang sudah dimiliki kedua perusahaan pun bisa dimonetisasi untuk keperluan bisnis.
Ketika kedua perusahaan merger, maka ada potensi terjadinya monopoli teknologi, dari informasi pergerakan manusia sampai finansial. "Betapa dahsyatnya," kata Ibrahim yang pernah menjadi analis Institute for Prospective Technological Studies (IPTS) ini, sebuah lembaga di bawah Komisi Eropa yang berbasis di Seville, Spanyol.
Meski demikian, Ibrahim menyebut masalah sebenarnya juga ada pada pelanggan sendiri. Sampai saat ini, Ia menilai masyarakat Indonesia masih belum tidak terlalu peduli dengan perlindungan data pribadi mereka masing-masing.
Berbagai data pribadi kerap disetor begitu saja dalam setiap transaksi digital yang dilakukan. "Asal harga murah," kata Ibrahim.
Kondisi yang berbeda justru terjadi di beberapa negara maju di Eropa, seperti di Skandinavia. Menurut dia, perkembangan bisnis e-commerce di kawasan ini paling lambat. "Tapi justru data protectionnya paling kuat," kata Ibrahim.
Untuk itu, Ibrahim menyebut kondisi ini bisa menjadi sejumlah pertimbangan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) nantinya, jika memang Grab dan Gojek melaporkan merger. "Ini jadi call buat KPPU," kata Ibrahim.
Baca: Kabar Merger dengan Gojek, Grab Dinilai Memiliki Posisi Tawar Lebih Tinggi
FAJAR PEBRIANTO