TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani menjawab anggapan sejumlah pihak yang memandang pajak identik dengan penjajahan. Dia menjelaskan pajak justru menjadi sumber penerimaan utama negara yang menopang pembangunan.
“Ketika rasio pajak di sebuah negara masih rendah, hal ini menjadi penghalang bagi negara untuk bisa mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pangan, pertahanan, dan lain-lain,” ujar Sri Mulyani dalam akun instagram resmi terverifikasinya, @smindrawati, Kamis petang, 3 Desember 2020.
Menurut Sri Mulyani, banyak masyarakat yang belum menganggap pajak sebagai sebuah kewajiban. Mengutip ekonom Vito Tazi, Sri Mulyain pun mengatakan untuk membangun sistem perpajakan, negara mesti melakukan langkah-langkah tertentu yang tidak hanya berfokus pada institusi.
Negara, kata dia, harus didukung oleh pemangku kepentingan lain, misalnya pihak yang bergerak di bidang akademik. Sri Mulyani lalu mendukung upaya entitasnya melibatkan banyak akademikus untuk meneliti kebijakan pajak.
“Penelitian ilmiah yang dilakukan secara akurat, kredibel, dan evidence-based mengenai institusi perpajakan ini akan menghasilkan ide dan masukan konkret dalam mendesain organisasi pelayanan, pemeriksaan, serta kepatuhan pajak,” katanya.
Kajian-kajian yang dilakukan akademikus, tutur Sri Mulyani, akan membuka akses agar masyarakat menyadari kewajibannya sebagai wajib pajak. Dengan demikian, ia berharap ketaatan membayar kewajiban meningkat sehingga rasio pajak di Indonesia kian baik.
Pada 2019, Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak naik 1,4 persen secara year on year menjadi sebesar Rp 1.334 triliun. Meski demikian, penerimaan pajak tahun lalu itu masih sebesar 84,4 persen dari target yang dipatok sebelumnya sebesar Rp 1.577,6 triliun.
Tak tercapainya target 100 persen didorong oleh penurunan kinerja pajak untuk PPh migas serta PPN. Masing-masing mengalami kontraksi -8,7 persen (yoy) dan -0,8 persen (yoy). Adapun realisasi penerimaan dari kedua jenis pajak tersebut sebesar Rp 59,1 triliun dan Rp 532,9 triliun.
Baca juga: Sri Mulyani Anggap Eksekusi Belanja Daerah untuk Pemulihan Ekonomi Lambat
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | HENDARTYO HANGGI