Menurut Zaeni, pada skenario yang pertama, dengan kurs Rp 9000 per dollar Amerika dan harga minyak US$ 21 per barrel, dipandang lebih aman dibandingkan skenario yang kedua. Skenario yang terakhir ini adalah kurs Rp 9000 per dollar Amerika dan dengan harga minyak US$ 22 per barrel. Alasannya, menurut Zaeni, saat ini, harga minyak masih US$ 22 per barrel.
Pendapat itu didukung Aberson Marley Sihaloho, anggota Fraksi PDI-P, yang mengemukakan jika harga minyak ditentukan US$ 22 per barrel, jika tidak sampai pada angka itu, maka akan membebankan penerimaan daerah. Kalau penerimaan lebih (US$ 22 per barrel, red.) maka tinggal kita tambahkan saja, tukasnya.
Aberson juga menanggapi penetapan inflasi sebesar 9 persen per tahun merupakan konsekuensi dari penetapan harga minyak. Diperkirakannya, dengan inflasi sebesar itu maka alat-alat produksi semakin mahal. Dia menanggapi, pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan mencapai 4 persen dalam tahun 2002 jika kondisi normal.
Sebagian anggota DPR lainnya justru mempertanyakan kebijakan apa yang digunakan pemerintah sehingga menetapkan nilai tukar rupiah Rp 9.000 per dollar Amerika. Dengan inflasi 9 persen dipandang akan makin menjauhkan sektor riil. Jika bunga tinggi, memungkinkan orang lebih suka membeli SBI saja daripada sektor riil, kata salah seorang anggota DPR, peserta rapat, yang lain. (Istiqomatul Hayati)