TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menekankan Indonesia masih butuh pengawasan yang lebih prudent terhadap para penyelenggara teknologi finansial (fintech), yang diiringi peningkatan literasi digital masyarakat.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengungkap hal ini menilik masih banyaknya aduan masyarakat terhadap fintech, baik yang ilegal, maupun yang legal sekalipun. "Ada statistik yang datang surat ke saya itu hampir setiap hari ada komplain tentang adanya fintech. Saya bisa share itu. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kerja sama di lapangan mengenai hal ini," ujarnya dalam diskusi virtual bersama Institute for Social Economic and Digital (ISED), Rabu, 18 November 2020.
Dalam hal ini, Wimboh menekankan bahwa untuk kasus fintech legal, peran asosiasi fintech selaku self regulatory organization (SRO) untuk 'mengurus' para anggotanya merupakan kunci.
OJK berharap asosiasi menerapkan pengawasan lebih ketat terhadap market conduct dengan menegakkan code of conduct melalui sanksi dan law enforcement kepada anggota yang melanggar.
Sementara untuk fintech ilegal, OJK masih mengandalkan Satgas Waspada Investasi (SWI), yang sejak 2018 sampai Oktober 2020 telah menutup 2.923 fintech peer-to-peer (P2P) lending ilegal dan 154 investasi ilegal.
"Ini baru yang ketahuan dan dilaporkan. Jangan sampai ini menjadi sentimen negatif terhadap perkembangan fintech yang sebenarnya bermanfaat buat masyarakat. Sekali lagi, jangan sampai hal begini ini menimbulkan apriori terhadap perkembangan fintech," katanya.