TEMPO.CO, Jakarta – Maskapai penerbangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk kembali membukukan kerugian pada kuartal ketiga 2020. Sepanjang Juli hingga September, Garuda merugi hingga US$ 1,07 miliar atau Rp 15,32 triliun.
Kondisi ini menambah beban perseroan yang sepanjang semester I sudah rugi US$ 712,73 juta atau setara dengan Rp 10,34 triliun. Meski dalam kondisi sulit, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra meyakini kinerja perusahaan pada akhir kuartal 2020 akan membaik.
“Berbagai upaya pemulihan kinerja yang dilakukan sudah on the track. Kami optimistis kinerja perusahaan pada periode tiga bulan kedepan akan semakin menunjukkan pertumbuhan positif, khususnya dengan adanya periode libur panjang akhir tahun,” ujar Irfan, Sabtu, 7 November 2020.
Ini bukan kali pertama keuangan Garuda merah. Emiten berkode GIAA tercatat acap merugi sejak 2014. Kerugian terjadi bahkan dua kali selama periode lima tahun, yakni 2014-2019. Berikut rekam keuangan Garuda dalam lima tahun terakhir.
- Rugi US$ 371,9 juta pada 2014
Maskapai penerbangan pelat merah ini membukukan kerugian pertama setelah lima tahun sebelumnya untung. Kala itu, keuangan perusahaan amblas menjadi US$ 371,9 juta atau sekitar Rp 4,87 triliun dihitung dengan kurs Rp 13.100 yang berlaku masa itu. Padahal pada 2013, Garuda membukukan keuntungan US$ 13,5 juta.
Kerugian terjadi karena kondisi industri penerbangan dipengaruhi turbulensi eksternal yang berdampak pada depresiasi rupiah. Di samping itu, tingginya harga bahan bakar avtur menjadi masalah yang membuat profit emiten tertekan.