TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan 95 persen bahan baku obat di Indonesia masih didatangkan dari luar negeri alias impor. Sebab, menurut dia, industri kimia RI belum mampu menyediakan bahan baku yang cukup untuk memenuhi kebutuhan farmasi.
“Kenapa kita masih tergantung impor, karena pabrik-pabrik (obat) di dunia fokus pada bahan baku kimia. Sedangkan di Indonesia, industri kimia kita sangat tertinggal,” ujar Bambang dalam acara Dialog Nasional Tempo bertajuk “Pengembangan untuk Kemandirian Obat Nasional” pada Jumat, 6 November 2020.
Menurut Bambang, untuk memproduksi bahan baku obat, negara memerlukan turunan dari industri kimia. Dia menyatakan saat ini perusahaan BUMN, PT Pertamina (Persero), sedang mengembangkan turunan tersebut, yakni pabrik petrokimia, untuk memproduksi bahan baku obat-obatan. Namun proses pengembangannya membutuhkan waktu yang lama dan investasi yang besar.
Sebagai solusi, Bambang mengatakan Indonesia bisa mengembangkan bahan baku obat dari produk-produk herbal, baik yang berasal dari darat maupun laut. Apalagi, Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brasil.
Untuk mengembangkan bahan baku herbal tersebut, Bambang menerangkan perlu riset mendalam mulai ekstraksi hingga identifikasi. “Dari riset itu kita identifikasi bahan baku apa saja dari herbal yang bisa dipakai untuk obat yang sesuai dengan standar,” ucapnya.
Setelah identifikasi kelar, ia mengungkapkan perlu proses berkelanjutan sampai bahan baku itu dapat digunakan sebagai komplemen utama pembuatan fitofarmaka. Menurut Bambang, Kementeriannya saat ini berfokus mendanai riset bahan baku obat dari sumber herbal untuk penyakit menular dan penyakit mematikan.