Dalam skema LTD itu, Indonesia akan membuka pasar digital bagi AS. Lutfi berujar hal tersebut disambut baik oleh AS melihat pasar industri digital yang besar di Indonesia. Ia berharap LTD bisa menggenjot perdagangan kedua negara sehesar dua kali lipat dari nilai perdagangan saat ini sebesar US$ 27,1 miliar. Ia memperkirakan nilai perdagangan akan mencapai US$ 60 miliar dalam lima tahun.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja mendukung rencana tersebut. Menurut dia, fasilitas GSP ini sifatnya adalah skema preferensi dagang yang unilateral, yang artinya bisa diberikan dan dicabut kapan saja oleh negara pemberi fasikitas. Ia berujar Indonesia dan AS perlu mengembangkan cara lain untuk menciptakan skema preferensi dagang yang memiliki tingkat kepastian lebih tinggi dan lebih permanen bagi pelaku ushaa Indonesia.
"Karena itu kami pun mendukung bila Indonesia dan AS akan mengembangkan skema kerjasama perdagangan yang baru secara bilateral, disamping GSP," ujar Shinta.
Menurut dia, skema tersebut berpeluang membentuk rantai pasok (supply chain) produksi antara Indonesia-AS. Selain ini juga kerja sama tersebut menarik investasi dari AS, terutama dengan adanya perang dagang antara AS dan Cina. "Dengan demikian, perdagangan dan investasi kedua negara bisa terus berkembang secara efektif, sustainable, dan saling menguntungkan," kata dia.
Wakil Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengatakan saat ini AS masih menjadi negara tujuan utama untuk eskpor furnitur dan kerajinan Indonesia. Menurut dia, perlu ada perjanjian dagang yang bersifat bilateral agar nilai dan volumen ekspor ke AS bisa terus naik. Meski begitu, Sobur mengatakan industri juga butuh perbaikan daya saing agar produksi bisa semakin efisien dan produktif.
Baca: Teten Masduki Ajak UMKM Manfaatkan Fasilitas GSP Ekspor Produk ke AS
LARISSA HUDA